"Ethok-ethok dadi aktifis alias pura-pura menjadi aktifis - mbokan jere sapa dadi aktifis beneran"
Adalah sebuah sarkasme atau sindiran dari kawula alit teruntuk para aktifis yang mengaku dirinya sebagi "Agent of Change".
Bahwa ternyata tidak mudah untuk menyandang label aktifis. Sebab selain butuh gerakan nyata dalam membangun sebuah pergerakan, seorang aktifis juga mesti memiliki literasi yang cukup mendalam bahkan mengglobal. Visinya mesti orisinil dan otentik sekaligus organik alias tidak plagiat apalagi penuh dengan kimia.
Jika menjadi aktifis syaratnya hanya sekedar aktif, maka anak kecil yang sangat aktif bergerak bisa jadi kita sebut juga sebagai anak aktifis. Tetapi kita mesti bisa membedakan antara anak aktifis dengan aktifis anak. Sebab keduanya memiliki perbedaan yang sangat jauh dari segi esensi. Aktifis Anak adalah seseorang yang peduli terhadap tumbuh kembangnya anak, membela hak-hak anak sekaligus mengayomi dan berani melindungi hak anak. Sedangkan Anak Aktifis adalah seorang anak yang sangat aktif dan reaktif terhadap suatu hal bahkan bisa kita terjemahkan menjadi anaknya para aktifis.
Menjadi aktifis juga tidak harus selalu kritis. Sebab ketika syarat menjadi aktifis harus selalu KRITIS, maka yang terjadi adalah kahanan si aktifis itu menjadi sangat kritis. Baik secara finansial maupun personal branding.
Syarat kedua menjadi seorang aktifis adalah membiasakan diri untuk menjadi seseorang yang responsif terhadap suatu hal. Memberikan jeda sesaat untuk berfikir, mencermati dan mencerna kemungkinan baik dan buruknya sikap serta tanggapan akan suatu hal dengan terus menggali literasinya. Sehingga pergerakan yang ia bangun, dapat berbuah sikap yang memiliki landasan kuat, otentik bahkan orisinil serta dapat di pertanggungjawabkan.
Menjadi seorang aktifis juga tidak hanya butuh keberanian untuk berteriak lantang untuk menyuarakan suatu hal. Tapi seorang aktifis itu butuh keberanian untuk berteriak lantang karena ia memahami alternatif solusi atas isu dan isi yang dia angkat. Sehingga setiap isu yang ia angkat tidak berakhir menjadi sampah-sampah busuk yang memenuhi media sosial dan WA kita. ISU yang ia lontarkan bisa menjadi magnet yang mampu menarik dan mencuri perhatian umum.
Terakhir, seorang aktifis tidak hanya sekedar bisa bicara pada satu sektor doang. Tetapi ia mampu merangkai semua isu menjadi sebuah irama yang hollistik dan berkesinambungan satu dengan yang lain. Artinya kekuatan berfikir secara comprehensif dan integral itu penting ada dalam kerangka mindset seorang yang disebut aktifis.
Masih pantaskah kita menyandang label bernama AKTIFIS?
Jawabannya ada pada diri sendiri.
Selamat merenung dan mari kita jaga terus kewarasan nalar berfikir kita, demi menjaga keotentikan serta keorisinilan makhluk bernama manusia.
Banjarnegara, 07 Oktober 2025
Pendiri & Bupati FKBB
Wahono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar